Sebagai refleksi terhadap moralitas prilaku
manusia, etika mempunyai tradisi yang panjang sejak era Yunani klasik,
pemikiran Barat abad pertengahan dan Renaissance,
sampai kepada kearifan lokal masing-masing budaya.
Dewasa ini minat terhadap etika tidak
berkurang. Orientasi praktis dari etika berlangsung terus, Thomas Aquinas
melanjutkan tradisi filsafat praktis dengan teologi moral, David Hume dengan
perasaan moral, Imanuel Kant menghubungkannya dengan akal budi non intervensi
indrawi, pada Jeremy Bentham etika praktis (hedonisme kuantitas) menjadi tujuan
hukum, dan lain sebagainya. Hal-hal ini terutama tampak dalam etika terapan. Salah
satu ciri khas etika terapan adalah kerjasama erat antara etika dengan
ilmu-ilmu lain karena etika terapan tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa
pendekatan multidisipliner. Masalah-masalah etika ini sudah mengembang
ditimbulkan lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi, misal, soal bayi tabung,
rekayasa genetik, sampai kepada penggunaan senjata nuklir. Istilah etika
terapan yang terkesan baru sebenarnya sudah dicakup dalam filsafat moral sejak
zaman Plato maupun Aristoteles. Etika ditekankan pada tingkah laku manusia, misal,
apa yang harus dilakukan ? dan apa yang tidak boleh dilakukan ?.
Sebelum membahas mengenai teori dan
pemikiran etika, perlu dilakukan penjernihan istilah terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan etika ?!
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani
kuno “ethos”. Kata ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, watak,
adat, sikap maupun cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta eta) artinya adalah :
adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah yang melandasi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh filsuf besar
Aristoteles dihubungkan dengan filsafat moral. Kata moral yang berasal dari
bahasa Latin (mores) merupakan kata yang
dekat dengan etika. Jadi kata ini secara
etimologis berarti teori tentang moral atau pemikiran tentang moralitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti : (1)
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; (2) kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan moral; (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Ketiga pengertian etika diatas membawa
konsekuensi : (1) etika yang diamalkan dapat menjadi ilmu bilamana
direfleksikan dalam sistematisasi dan metodologi tertentu; (2) etika dapat
berarti sebuah peraturan tertentu sejenis kode etik; (3) etika sebagai sebuah
sistem nilai dalam masyarakat dan tentunya berhubungan dengan aspek-aspek
kebudayaan.
Disamping itu “etika” juga dibedakan dengan
“etiket”. Yang belakangan ini berasal dari kata bahasa Inggris “etiquette” yang
berarti sopan santun. Sebagaimana etika, etiket menyangkut prilaku manusia dan
mengatur prilaku manusia secara normatif, artinya mengandung kaedah apa yang
harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan manusia. Kedua istilah ini
sering dicampuradukkan padahal sejatinya memiliki perbedaan yang mendasar :
etika mengatur norma suatu perbuatan, etiket mengatur cara pantas dilakukannya
perbuatan itu, etika berlaku umum berangkat dari kesadaran diri, etiket hanya
untuk pergaulan, etika umumnya bersifat lebih absolut, sedangkan etiket bisa berbeda-beda,
etika berangkat dari batin manusia, sedangkan etiket hanya melihat sisi lahir
manusia.
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak
sistem etika, yakni uraian-uraian sistematis tentang hakikat moralitas dan
peranannya dalam hidup manusia. Pertanyaan kunci yang mendasari berkembangnya
tema ini ialah : Bagaimana orang bijak menjalani hidupnya ? Jawaban yang
diberikan ialah terkait dengan kebahagiaan, keutamaan moralitas ialah menangani
kehidupan dan mengarahkannya kepada kebahagiaan. Lantas bagaimanakah
kebahagiaan itu ?
A. Teori Hedonisme, teori yang diajarkan
Epikuros ini menunjukan bagaimana manusia dapat hidup sebahagia mungkin dalam
kehidupan yang banyak guncangannya. Teori yang juga disebut ‘kebahagiaan kecil’
ini mengatakan orang bijaksana menghindar dari keresahan dan perasaan yang
menyakitkan serta menikmati kesenangan-kesenangan yang menawarkan diri. Inti
dari pengajaran hedonisme yakni manusia harus hidup sebagaimana mungkin dengan
maksimalisasi kesenangan dan minimalisasi penderitaan.
Menurut Epikuros manusia perlu berusaha dua
arah, kesenangan yang sebanyak mungkin juga harus dinilai dengan penghilangan
keresahan sekecil apapun, di satu sisi manusia harus hidup seadanya, dilain
pihak ia harus memakai pemikirannya untuk membebaskan diri dari
ketakutan-ketakutan yang tidak perlu (misal, takut terhadap kematian, takut
terhadap dewa-dewi). Pada dasarnya manusia hanya memerlukan dua hal untuk hidup
bahagia, kebebasan dari rasa sakit jasmani dan bebas dari keresahan batin,
yakni manusia yang sehat dan tenang jiwanya.
B. Eudemonisme, Prinsip dasar etika
Aristoteles ini mengajarkan perealisasian potensi manusia dalam hidup dan
bertindak. Paham eudemonisme atau kebahagiaan menurut Aristoteles bukan hidup
mencari kekayaan dan mencari nama besar, juga kebahagiaan tidak dapat
dihubungkan dengan kuantitas nikmat. Dua nilai yang pertama ditolak Aristoteles
karena keduanya hanyalah nilai instrumental (sementara) bukanlah nilai yang ada
pada dirinya sendiri, kekayaan dicari demi hasrat dan kebutuhan, nama besar
dicari demi sifat yang menjadi sebab orang bernama besar. Adapun nikmat jika
dijadikan tujuan hidup adalah ciri khas binatang. Nikmat itu pada dirinya
sendiri tidaklah buruk, tetapi bukan tujuan. Nikmat dirasakan kalau suatu
kecenderungan (perlu makan-minum, seks) atau usaha (mencari kebenaran,
memecahkan masalah) berhasil. Maka bukan nikmat melainkan usaha itulah
tujuannya.
Dalam falsafah Aristoteles, kebahagiaan
adalah pengembangan diri, mengaktualisasi potensi dan bakat-bakat. Manusia akan
bahagia jika membuat nyata sesuatu yang awalnya adalah kemampuan. Konsep
kebahagiaan Aristoteles dilandaskan pada ciri khas manusia yakni logos atau akal budi dan sifat
sosialnya. Kebijaksanaan tertinggi ialah manusia (sebagai makhluk filsuf dan
makhluk politis) bukanlah dapat dipelajari seperti orang belajar ilmu
pengetahuan, melainkan berkembang melalui pengalaman, komunikasi, refleksi.
Perlu digarisbawahi disini, bahwa
Aristoteles dan tradisi para filsuf Yunani tidak ‘memasuki’ ke alam kebahagiaan dalam arti
modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa bahagia). Dengan kebahagiaan
dimaksudkan keadaan manusia sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang
seharusnya ada memang ada padanya.
Pada intinya dalam falsafah Aristoles
keutamaan manusia terletak dari proses memfungsikan dirinya, dan fungi manusia
ialah logos atau akal budi dan sifat sosial manusia.
Dengan kedua fungsi itu menghasilkan dua macam keutamaan. keutamaan intelektual
dan keutamaan moral. Kebijaksanaan (phronesis)
ialah perbuatan moral yang bersumber pada penalaran intelektual. Kebijaksanaan
praktis ialah bagaimana manusia secara etis dan politis memilih ‘jalan tengah’[1] antara dua ekstrem dalam situasi konkret. Sekurangnya ada 11 keutamaan yang dibahas
Aristoteles : keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi
luhur, harga diri, sikap lemah-lembut, keberadaban, kejujuran, persahabatan,
dan keadilan. (Yusuf Zainal)
[1]
Keseimbangan antara sifat-sifat, misal keberanian merupakan jalan tengah dari
pengecut dan nekat, murah hati merupakan jalan tengah dari pemborosan dan
kekikiran, dlsb.
No comments:
Post a Comment