Hubungan seks zaman dulu di nusantara konon
dikaitkan dengan kesuburan bumi maupun kemakmuran rakyat, lebih khusus lagi
kalangan keraton. Seorang raja yang menunjukan kehebatan dan potensi besar
seksual maka kerajaan akan kuat dan makmur. Banyaknya anak dan keturunan
sebagai perlambang kesuburan rakyatnya. Paku Buwono X yang memiliki puluhan
anak dan ratusan cucu sering dinilai sebagai raja terbesar tanah Jawa.
Simbol-simbol seksualitas tersebar pada berbagai
peninggalan tradisional, pemujaan pada lingga,
yoni, hubungan seksual dan alat
kelamin dianggap sebagai simbol pusaka. Di Candi Sukuh, alat kelamin laki-laki
(Raja) dipahatkan di bagian depan pintu gerbang dan di belakangnya ada pahatan
Vagina (Ratu), keduanya merupakan pusaka dan gambaran magis ketimbang
pornografi.
Nuansa
Hindu-Budha
Keraton Surakarta dengan tari Bedaya
Ketawang dan Yogyakarta dengan tari Bedaya Semang sebagai memperingati dan
mengaktualisasikan hubungan dengan Ratu samudera. Tarian yang dilakukan sembilan
penari perempuan yang dalam keadaan suci (perawan), konon orang kadang melihat
penari kesepuluh yang tercantik tiba-tiba ikut menari, mitos yang beredar
adalah Nyi Roro kidul.
Adapun filosofi sembilan penari ini sebagai
pelambang sembilan dewi yang menyertai dewa tertinggi (Syiwa) dalam sebuah
konfigurasi keadaan berhubungan seks. Syiwa dikenal sebagi dewa yang menonjol
bertapa dan potensi seksualnya. Kakawin
Swaradahana menceritakan bahwa anak yang sakti dari dewa ini terwujud
setelah Syiwa dan Dewi Parwati melakukan hubungan seks (diselingi makan dan
minum) selama bertahun-tahun.
Dalam Vajrayana hubungan seks menjadi jalan
kepada Mahasukha atau kebahagiaan
agung yang didasari oleh pemahaman dan penghayatan akan kebenaran yang bersifat
transenden. (Yusuf Zainal)
No comments:
Post a Comment