Thursday, April 4, 2013

Etika Kebaikan Hati

Robert Spaemann (1927-  ) filsuf sekaligus teolog Katolik konservatif yang dilahirkan di Berlin, Jerman. Professor emeritus Universitas München ini mengidentifikasi kebaikan hati  sebagai fenomena paling dasar.
Garis pemikiran Spaemann menjembatani eudemonisme Yunani klasik dengan deontologi kantianisme Kant dimana ia melakukan rekonsiliasi kewajiban dengan kebahagiaan. Spaemann seolah bertolak dari esai Plato manusia dalam gua. Konsep “Cinta” bilamana menikmati kebahagiaan oranglain sebagai kebahagiaan sendiri dari titik ini diterimalah konsep kebaikan hati sebagai dasar etik.
Spaemann memadukan insight dua filosof, Leibniz dan Aristoteles, yang pertama menunjuk pada ajaran cinta kasih, kegembiraan karena kebahagiaan orang lain, yang kedua menanamkan persahabatan sebagai puncak kebahagiaan yang dialami manusia.
Basis etika cinta Spaemann, bahwa Kalau dua orang saling mencintai, kebahagiaan dan kewajiban, perhatian pada diri sendiri dan pada orang lain, menjadi satu pengalaman kebaikan. Bertanggung jawab atas keselamatan orang yang dicintai menjadi kewajiban bagi yang mencintai. Padahal dalam ini kewajiban kehilangan segala keasingan, ketegaran. Memenuhi kewajiban itu terhadap yang dicintai membahagiakan. Begitu pula dalam cinta keselamatan dan kebahagiaan orang yang dicintai menjadi keprihatinan dan kepentingan saya yang pertama. Aku puas kalau dia puas. Aku gembira kalau dia gembira. (Delectatio in felicitate alterius ). Maka hubungan antara manusia dan model segala kewajiban etika adalah cinta dan persahabatan. Adapun persahabatan, konsekuensi dari persahabatan “melahirkan situasi” krusial, yakni ketika sahabat meminta pertolongan maka kita ‘harus’ menolongnya, dimana “harus” disini merupakan derivasi dari persahabatan yang tidak terpisah dari realitas sahabat itu sendiri, bukannya diingatkan, diminta bahkan disuruh. Keharusan menolong dalam persahabatan diluaskan kepada nilai umum yang berlaku universal, bukan hanya ‘sahabat’ dalam arti khusus namun terhadap sesama yakni merentangkan tanggungjawab sesama. 
Mengapa Cinta ? Tempat asali segala moral adalah cinta, dimana kedua nilai bertentangan egoisme dan altruisme tidak saling menegasikan. Fenomena cinta memperlihatkan hakikat kebahagiaan dan tanggungjawab terhadap diluar aku (ego). Dalam “memenuhi” cinta langsung terletak kebahagiaan, demikian pula dalam “memotivasi” tindakan cinta membawa kebahagiaan (mind virtue). Arah selanjutnya ialah Cinta sesama (persahabatan) yang kemudian terarah pada tanggungjawab sesama. Kebaikan hati adalah keniscayaan yang timbul ketika merentangkan tanggungjawab sesama mulailah keberadaan yang lain dilihat sebagai realitas. Kenyataan mendahului semua pertimbangan teoritis, melekat bersama kewajiban dan tanggungjawab.
            Bagaimana proses ‘evolusi’ nilai itu berlangsung ? Spaemann menyebut gagasan Bersalah karena tidak ‘melihat’ ? Sebuah fenomena kontradiktif “rasa bersalah” merupakan bagian dari proses membangun akal budi, rasa bersalah yakni kesadaran bahwa kita tidak seluruhnya “tertidur”. Kesadaran yang dialami dalam proses berkembangnya kebaikan hati berimplikasi pada rasa bersalah, tapi sekaligus anugerah bahwa manusia dikaruniai kebaikan kebahagiaan berupa akal budi yang mendapat penajaman oleh kebaikan hati.  
Rangkaian pemikiran Spaemann mencita-cita terwujudnya ‘Ordo Amoris’ (tatanan cinta). Mengingat cinta tanda keterbukaan akal budi yang mengantarkan kepada kenyataan, dimana membuka ‘kedua mata’, “mata hati” dan “mata akal budi”. Dalam cinta kita melihat kenyataan adanya ‘yang lain’, kebahagiaan dengan bahagianya objek cinta sekaligus kewajiban sesama diupayakan terealisasi dalam sebuah rule. Tatanan kebahagiaan egoisme dan altruisme disatu pihak saling mendukung dengan tatanan kewajiban dan tanggungjawab dipihak lainnya. Namun ada perbedaan tatanan tanggungjawab; yang mutlak dan yang relatif.
Yang mutlak adalah tanggungjawab negatif, yakni tidak melakukan apapun kepada orang lain yang tidak baik atau tidak menghormati orang lain sebagai persona, sedangkan tanggungjawab positif yang relatif yakni melakukan sesuatu kepada orang lain yang baik atau mengormati orang lain sebagai persona dibatasi dengan pertimbangan pertimbangan situasi kondisi tertentu, misal fisik, sosial dan budaya atau tanggungjawab terhadap perbuatan kita yang menunjukan hubungan sebab akibat langsung maupun yang akibatnya dapat kita perkirakan. Ringkasnya, konsep cinta, menuju cinta sesama (persahabatan) dan berujung pada kebaikan hati. Yang belakangan ini membangun akal budi dan (dengan kesadaran) melahirkan kenyataan. Dus  inti dari pemikiran Spaemann, bukanlah mewujudkan hidup yang benar (das sollen) melainkan antisipasi hidup yang benar (das sein). Karena dengan kebaikan hati kita harus hidup dengan benar meskipun ditengah situasi yang tidak benar.

Referensi :
                   Robert Spaemann, 1990, Basic Moral Concepts 
                   ---------------, 2000, Happiness and Benevolence
                   Franz Magnis Suseno 2013, Etika Kepedulian : Kritik Terhadap Kant 

No comments:

Post a Comment