Sebenarnya penggunaan term ‘’Etika rasa
aman” hanyalah berasal dari penulis pribadi dalam memahami filsafat Emmanuel Levinas yang agak sulit dicerna, karena tulisan ini merupakan interpretasi
penulis, bukannya hanya sekedar penulisan ringkas, penerjemahan atau semacamnya
maka penulis melakukan pengembangan penyesuaian dengan dan untuk pemahaman
penulis, beberapa konsep filsafat diperlunak dengan bahasa-bahasa tangkapan
penulis. Dalam kajian etika yang membedakan atau menonjolkan nilai tertentu
dari pemikiran seorang filsuf kalau bisa dikatakan pembedaan khas dari Levinas
dengan yang lain, juga sekaligus konsep “rasa aman” masih belum umum digunakan
filsuf lain menurut hemat penulis. Maka karena pembahasan ini tidak membahas
seluruh pemikiran filsuf bersangkutan, namun hanya menggali sebuah teori etika
maka penulis menjatuhkan pilihan pada “Etika Rasa Aman”.
Emmanuel Levinas (1912-1995), filsuf
Lithuania postmodern paling berpengaruh ini banyak dipengaruhi oleh reaksi atas
holocaust perang dunia kedua yang
menimpa diri dan keluarganya sebagai seorang Yahudi. Levinas dipengaruhi Edmund
Husserl (fenomenologi dan koneksi intersubyektifitas) dan Heidegger (konsep ‘being’ dan ‘time’). Pada 1961 Levinas menerbitkan bukunya yang pertama ‘Totalite et infini ’ (totalitas dan yang
tak terhingga) dan pada tahun 1974 terbit karya kedua ‘Autrement qu’etre ou au-dela de l essence’ (lain daripada yang ada
atau diseberang esensi).
Etika rasa aman berangkat dari deskripsi
“wajah”. Filsafat “wajah”, sebagai embrio tanggungjawab. Signifikasi pada
otentisitas ke’wajah’an, pertama-tama, Wajah sebagai wujud konkret, yang
telanjang, polos muncul didepan kita, sesuatu yang ‘transenden’ menyatakan
diri. Inilah fenomena dasar etis !! Kedua, Wajah sesama seolah mengatakan “terimalah
aku jangan membunuh aku” !!
Konsekuensi etis “wajah”, yakni mewakili
‘yang lain’ sebagai betul-betul lain dari aku. Yang lain atau orang berada sama
sekali di luar kita, ketika wajah itu menatap kita maka ia tidak lagi bisa
bersikap apatis melainkan kita tersubstitusi bagi orang itu. Ketika berhadapan
itu maka sekaligus aku menjadi aku. Aku menemukan identitas ke’aku’an.
Konsep “yang lain” dan perkembangannya
“perjumpaan dengan yang lain”, yang pertama mengantarkan pada keberadaan
realitas, “Yang lain” adalah pribadi sesama manusia, pribadi yang lain tidak
boleh diperlakukan sebagai “benda”. Aku (diri) membutuhkan yang lain, bukan
sebagai yang lain, bukan yang lain sebagai alter ego/aku yang lain. Pengalaman
dasar perjumpaan pada “wajah perjumpaan dengan yang lain”, kita sadar bahwa
kita langsung bertanggungjawab total atas keselamatannya, itu adalah titik
tolak segala kesadaran, adanya tuntutan berbuat baik dan tidak jahat, sehingga
implikasi “perjumpaan dengan yang lain” layaknya ‘epifani ’ koneksi antar subyek didalam diri berlangsung, sikap dan
dimensi penghayatan manusia dimana sinar kesucian ilahi ada dibelakangnya
Etika rasa aman ini adalah diderivasikan dari
beberapa konsep kunci : (1) Kesadaran untuk bertanggungjawab atas keselamatan
yang lain bahwa termuat panggilan kepada kebaikan. (2)Tuntutan primordial untuk
bersikap baik dan tidak jahat. (3) Dalam kesadaran itu merupakan panggilan
kebaikan yakni pancaran dari yang baik tak berhingga. (4) Aku bertanggungjawab
maka aku ada (Responddeo ergo sum),
saya ada karena ada realitas diluar kesadaran saya. (5) Manusia etis adalah
manusia bertanggungjawab yang membawa
rasa aman terhadap sesamanya.
Visi pemikiran Levinas menarik kesimpulan
bahwa tanggungjawab terhadap yang lain adalah data realitas yang paling
pertama. Ketika berhadapan dengan yang lain, “wajah”, yang tidak dapat
dimanipulasi itu, aku menyadari tanggungjawab, bersumber dari keunikan manusia,
sebuah identitas, dimana tanggungjawab itu tidak dapat diwakili walaupun dalam
kehidupan praktis seringkali kita menyingkirkan tanggungjawab itu. Kenyataan
menunjukan bahwa dasar paling dalam
kebijaksanaan ialah kenyamanan orang lain melihat diri kita, dari situ lahirlah
sikap kita bertanggungjawab total terhadap orang lain. Konsekuensi kunci
yang tidak dapat dilepaskan bahwa usaha membangun totalitas keseragaman justru
merupakan pemerkosaan terhadap keunikan yang lain.(Yusuf Zainal)
No comments:
Post a Comment