Dalam
etika terdapat dua pendekatan dasar, yang satu mempertanyakan ‘apa yang baik
bagi manusia’ dan satunya lagi ‘apa yang wajib’. Kedua perbedaan ini
direpresentasikan oleh filsafat Yunani klasik dan filsafat kantianisme Kant.
Dalam pemikiran lain, seperti, Schopenhauer, etika berbeda dengan kebahagiaan,
moralitas berarti mengalahkan kehendak untuk hidup, karena manusia baru
mencapai tujuannya apabila ia tidak lagi mempunyai kehendak. Friedrich Nietsche
mengamini pendapat itu, moralitas berbeda dengan kehidupan, karena itu ia
menentang kehidupan maka harus dibuang. Pembebasan moralitas dari kaitannya
dengan kebahagiaan menjadi kebahagiaan yang bebas dari moralitas. Dewasa ini
bermunculan banyak pemikiran sintesa diantara eudomonisme dan deontologi.
Latar belakang pemikiran etika :
1.
Plato
Dapat dipahami sebagai usaha
menemukan serta mengaktualisasikan kembali intuisi yang baik dan yang indah.
Konsekuensi dari idealisme ialah pemenuhan yang berpuncak pada ‘memandang’
kesatuan pemenuhan kecenderungan atau kepentingan manusia yang sebenar-benarnya
dimana disitulah terletak kebahagiaan. Menuju pemenuhan itu dengan pembersihan
kebertubuhan maupun kebendaan.
2.
Aristoteles
Hidup yang bijaksana adalah hidup
yang menghasilkan eudaimonia, manusia yang bahagia merealisasikan dirinya,
manusia memandang hal-hal yang abadi, manusia mengembangkan dirinya dengan hal
terbaik yang dapat dicapai. Realis manusia bertolak pada antisipasi konstitutif
(memilih nilai tengah) dalam mewujudkan keseimbangan yang semua itu tiada lain
kebahagiaan.
3.
Epikuros
Penentuan status quastionis (letak persoalan) dasar eudemonisme,
maksimalisasi kesenangan minimalisasi penderitaan menuju ‘apathia ’. Kondisi historis dihilangkan dari refleksi atas hidup
maupun ketakutan-ketakutan (mitologi, dewa-dewi, kematian).
4.
Etika Stoa
Manusia mendapatkan kebahagiaan
makin ia mengidentifikasi terhadap keseluruhan karena manusia makhluk dalam
waktu menuju ‘autarkia ’,
kemandirian, tidak mengalami yang bertentangan dengan cita-citanya dan
‘ataraxia’, pengalaman sesuai kehendak.
5.
Etika Kristiani
Sejatinya penyimpulan sebuah sistem
moral sebagai etika Kristen memerlukan penelaahan mendalam terhadap kitab suci,
interpretasi maupun tradisi yang berlangsung ditengah komunitas kristiani. Yang
lebih bisa dimajukan ialah pemikiran tokoh-tokoh etika yang berangkat dari
dorongan ajaran kristen (refleksi iman), interpretasi agama kristen dengan
bahasa etika (penafsiran agama), maupun etika non religius yang sedikit banyak
bersinggungan dengan konsep-konsep kristiani. Jika menggunakan pendekatan
representasi, maka St Paul, St Agustinus, St Thomas Aquinas sangat otoritatif
setidaknya bisa ditarik sebuah gagasan bersama.
Garis besarnya, sebagaimana ciri
dalam setiap agama, penegasan nilai moral hanya dapat tercapai dalam “visio beatifica”, dalam memandang Tuhan.
Rasionalitas hidup bermoral disandarkan pada kebahagiaan di alam sesudah
kematian. Moralitas tidak hanya tercapai pada kehidupan yang bahagia melainkan
sarana kebahagiaan sesudah mati. Transendentasi kebahagiaan adalah moralitas
sesuai kehendak Tuhan.
6.
Etika Kant
“Kewajiban demi kewajiban”.Titik
tolak ke arah kebahagiaan dianggap bersifat instrumentalistik dan egoistik,
moralitas direndahkan menjadi alat mencapai kebahagiaan. Etika ialah jawaban
akhir yang melihat distingsi antara yang baik dalam arti moral ketimbang yang
baik dalam arti yang menguntungkan.
No comments:
Post a Comment