Friday, February 8, 2013

Etika Dalam Filsafat Yunani Klasik

Sebagai refleksi terhadap moralitas prilaku manusia, etika mempunyai tradisi yang panjang sejak era Yunani klasik, pemikiran Barat abad pertengahan dan Renaissance, sampai kepada kearifan lokal masing-masing budaya.
Dewasa ini minat terhadap etika tidak berkurang. Orientasi praktis dari etika berlangsung terus, Thomas Aquinas melanjutkan tradisi filsafat praktis dengan teologi moral, David Hume dengan perasaan moral, Imanuel Kant menghubungkannya dengan akal budi non intervensi indrawi, pada Jeremy Bentham etika praktis (hedonisme kuantitas) menjadi tujuan hukum, dan lain sebagainya.  Hal-hal  ini terutama tampak dalam etika terapan. Salah satu ciri khas etika terapan adalah kerjasama erat antara etika dengan ilmu-ilmu lain karena etika terapan tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa pendekatan multidisipliner. Masalah-masalah etika ini sudah mengembang ditimbulkan lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi, misal, soal bayi tabung, rekayasa genetik, sampai kepada penggunaan senjata nuklir. Istilah etika terapan yang terkesan baru sebenarnya sudah dicakup dalam filsafat moral sejak zaman Plato maupun Aristoteles. Etika ditekankan pada tingkah laku manusia, misal, apa yang harus dilakukan ? dan apa yang tidak boleh dilakukan ?.
Sebelum membahas mengenai teori dan pemikiran etika, perlu dilakukan penjernihan istilah terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan etika ?!
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos”. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, watak, adat, sikap maupun cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta eta) artinya adalah : adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah yang melandasi terbentuknya istilah “etika” yang  oleh filsuf besar Aristoteles dihubungkan dengan filsafat moral. Kata moral yang berasal dari bahasa Latin (mores) merupakan  kata yang dekat dengan etika. Jadi kata ini  secara etimologis berarti teori tentang moral atau pemikiran tentang moralitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) etika  dijelaskan dengan membedakan tiga arti : (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan moral; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Ketiga pengertian etika diatas membawa konsekuensi : (1) etika yang diamalkan dapat menjadi ilmu bilamana direfleksikan dalam sistematisasi dan metodologi tertentu; (2) etika dapat berarti sebuah peraturan tertentu sejenis kode etik; (3) etika sebagai sebuah sistem nilai dalam masyarakat dan tentunya berhubungan dengan aspek-aspek kebudayaan.
Disamping itu “etika” juga dibedakan dengan “etiket”. Yang belakangan ini berasal dari kata bahasa Inggris “etiquette” yang berarti sopan santun. Sebagaimana etika, etiket menyangkut prilaku manusia dan mengatur prilaku manusia secara normatif, artinya mengandung kaedah apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan manusia. Kedua istilah ini sering dicampuradukkan padahal sejatinya memiliki perbedaan yang mendasar : etika mengatur norma suatu perbuatan, etiket mengatur cara pantas dilakukannya perbuatan itu, etika berlaku umum berangkat dari kesadaran diri, etiket hanya untuk pergaulan, etika umumnya bersifat lebih absolut, sedangkan etiket bisa berbeda-beda, etika berangkat dari batin manusia, sedangkan etiket hanya melihat sisi lahir manusia.          
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, yakni uraian-uraian sistematis tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam hidup manusia. Pertanyaan kunci yang mendasari berkembangnya tema ini ialah : Bagaimana orang bijak menjalani hidupnya ? Jawaban yang diberikan ialah terkait dengan kebahagiaan, keutamaan moralitas ialah menangani kehidupan dan mengarahkannya kepada kebahagiaan. Lantas bagaimanakah kebahagiaan itu ?
A. Teori Hedonisme, teori yang diajarkan Epikuros ini menunjukan bagaimana manusia dapat hidup sebahagia mungkin dalam kehidupan yang banyak guncangannya. Teori yang juga disebut ‘kebahagiaan kecil’ ini mengatakan orang bijaksana menghindar dari keresahan dan perasaan yang menyakitkan serta menikmati kesenangan-kesenangan yang menawarkan diri. Inti dari pengajaran hedonisme yakni manusia harus hidup sebagaimana mungkin dengan maksimalisasi kesenangan dan minimalisasi penderitaan.
Menurut Epikuros manusia perlu berusaha dua arah, kesenangan yang sebanyak mungkin juga harus dinilai dengan penghilangan keresahan sekecil apapun, di satu sisi manusia harus hidup seadanya, dilain pihak ia harus memakai pemikirannya untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu (misal, takut terhadap kematian, takut terhadap dewa-dewi). Pada dasarnya manusia hanya memerlukan dua hal untuk hidup bahagia, kebebasan dari rasa sakit jasmani dan bebas dari keresahan batin, yakni manusia yang sehat dan tenang jiwanya.
B. Eudemonisme, Prinsip dasar etika Aristoteles ini mengajarkan perealisasian potensi manusia dalam hidup dan bertindak. Paham eudemonisme atau kebahagiaan menurut Aristoteles bukan hidup mencari kekayaan dan mencari nama besar, juga kebahagiaan tidak dapat dihubungkan dengan kuantitas nikmat. Dua nilai yang pertama ditolak Aristoteles karena keduanya hanyalah nilai instrumental (sementara) bukanlah nilai yang ada pada dirinya sendiri, kekayaan dicari demi hasrat dan kebutuhan, nama besar dicari demi sifat yang menjadi sebab orang bernama besar. Adapun nikmat jika dijadikan tujuan hidup adalah ciri khas binatang. Nikmat itu pada dirinya sendiri tidaklah buruk, tetapi bukan tujuan. Nikmat dirasakan kalau suatu kecenderungan (perlu makan-minum, seks) atau usaha (mencari kebenaran, memecahkan masalah) berhasil. Maka bukan nikmat melainkan usaha itulah tujuannya.
Dalam falsafah Aristoteles, kebahagiaan adalah pengembangan diri, mengaktualisasi potensi dan bakat-bakat. Manusia akan bahagia jika membuat nyata sesuatu yang awalnya adalah kemampuan. Konsep kebahagiaan Aristoteles dilandaskan pada ciri khas manusia yakni logos atau akal budi dan sifat sosialnya. Kebijaksanaan tertinggi ialah manusia (sebagai makhluk filsuf dan makhluk politis) bukanlah dapat dipelajari seperti orang belajar ilmu pengetahuan, melainkan berkembang melalui pengalaman, komunikasi, refleksi.
Perlu digarisbawahi disini, bahwa Aristoteles dan tradisi para filsuf Yunani tidak  ‘memasuki’ ke alam kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa bahagia). Dengan kebahagiaan dimaksudkan keadaan manusia sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang seharusnya ada memang ada padanya.
Pada intinya dalam falsafah Aristoles keutamaan manusia terletak dari proses memfungsikan dirinya, dan fungi manusia ialah logos  atau akal budi dan sifat sosial manusia. Dengan kedua fungsi itu menghasilkan dua macam keutamaan. keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Kebijaksanaan (phronesis) ialah perbuatan moral yang bersumber pada penalaran intelektual. Kebijaksanaan praktis ialah bagaimana manusia secara etis dan politis memilih ‘jalan tengah’[1] antara dua ekstrem dalam situasi konkret. Sekurangnya ada 11 keutamaan yang dibahas Aristoteles : keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, harga diri, sikap lemah-lembut, keberadaban, kejujuran, persahabatan, dan keadilan. (Yusuf Zainal) 


[1] Keseimbangan antara sifat-sifat, misal keberanian merupakan jalan tengah dari pengecut dan nekat, murah hati merupakan jalan tengah dari pemborosan dan kekikiran, dlsb.

No comments:

Post a Comment