Tuesday, February 18, 2014

Masa depan sejarah

Prediksi dalam sejarah ataupun dimaknai pembuatan proyeksi sejarah kedepan, mungkin istilahnya terkesan rancu, tapi boleh jadi semacam pengembangan situasi tertentu. Pen’standarisasi’an tujuan dalam perekayasaan sosial.
Prediksi dalam sejarah tidak identik dengan ramalan politik, fenomena sosial atau kecenderungan budaya masyarakat bukanlah basis dari prediksi sejarah, dus ia lebih bersifat antisipatif  dengan cerminan masa lampau dimana tugas sejarawan ialah merekonstruksi. Rekonstruksi ini mencakup rekonsiliasi  dan reedukasi, mendamaikan dan memahami apa-apa yang telah berlalu dengan pemikiran aktual namun sudut pandang holistik tanpa mengenyampingkan aspek aksiologi. Mengambil sebagai pembelajaran sistematis, lembaran-lembaran traumatis pun dapat berputar layaknya bumerang pada lembaran yang kita ukir kini digariskan dalam sebuah siklus.
Mengutip sebuah sumber, “aku bukan masa lalu, tapi masa lalu membawaku ke masa depan”. Kalau bisa ditambahkan, “masa depanku bukan masa laluku.” (Yusuf Zainal)

Psikologi & sosiologi agama

*Agama jika dilihat dari sudut pandang para teolog maka ia berupa sekumpulan dogma-apologi, keyakinan-keyakinan/konsep iman.     
*Agama dilihat dari sudut keberagamaan individu bersifat relatif, dibatasi pengaruh-pengaruh kejiwaan seseorang (responsi stimulus), “realitas” pengalaman spiritual.
*Agama dalam ilmu kemasyarakatan ialah perluasan dari keberagamaan individu-individu, dipengaruhi budaya, adat, kebiasaan.
*Definisi agama merupakan masalah yang belum pernah selesai, tidak ada definisi yang benar-benar memuaskan diterima semua pihak, 2 faktor yang memusykilkan pendefinisian agama, sesuai dengan tujuannya, yakni syarat perlu (ciri masing-masing agama yang berbeda) dan syarat cukup (kekomprehensifan).
*Agama tidak memerlukan definisi (pembatasan) melainkan deskripsi (penggambaran).
*Pengkajian agama dari psikologi untuk memahami keberagamaan perindividu dan sikap mental masyarakat  (banyak individu) yang memeluk suatu agama/orientasi keagamaan.
*Pengkajian agama dari psikologi untuk memahami fungsi dan peranan agama di masyarakat.
*Agama dalam pengintegrasian nilai-nilai seperti konsensus minimal yang timbul di masyarakat adalah bagian dari fungsi agama di dalam masyarakat.
*Sosiologi menggolongkan masyarakat kepada 3 tipe sejauh peranan agama :
1. masyarakat dengan nilai-nilai sakral
2. masyarakat perkembangan nilai
3. masyarakat sekuler
*Sekulerisme dapat melemahkan fungsi agama sebagai pemersatu sekaligus pemecah belah.
*Agama sebagai cara penyesuaian diri, khususnya dengan stimulasi ketegangan manusia, antara lain, kematian dan kekuatan-kekuatan alam seperti bencana dan sebagainya yang tak dapat diramalkan.
*Sains moderen mengambil tempat agama sebagai cara penyesuaian diri, dalam masyarakat sekuler ains menjadi otoritas penjelas kosmologi alam semesta dan kosmologi dinilai kembali
menggunakan tolak ukur sains modern, namun sains tidak mau mencari jawaban ‘mengapa’ terhadap permasalahan mendasar manusia secara moral dan emosional.
*Ketegangan manusia pada masyarakat sekuler modern ditangani oleh psikologi dan psikiatri, dengan kata lain psikologi-psikiatri bisa menjadi jembatan agama dalam masyarakat atau menjalankan (sebagai ganti) fungsi-peranan agama dalam masyarakat.
*Dalam kaitannya dengan sains (di masyarakat sekular modern), Agama (dengan fungsi dan peranannya) : (1) mengembangkan penafsiran yang menyerap sains; (2) memberi makna dari sains; (3) berkembang atau berevolusi dalam gagasan-gagasan, teori-teori masyarakat modern, seperti, demokrasi, Hak asasi manusia, dlsb.
*Antropologi, ilmu yang mempelajari “anthropos” dan “logos”, manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial, penekanannya pada ciri-ciri fisik manusia, adat istiadat, kebudayaan. Perbedaannya dengan sosiologi ialah sosiologi berfokus pada kehidupan sosial masyarakat.

Syirik Dan Orientasi Manusia


Syirik sebagai suatu dosa terbesar dalam agama tidak dapat dipahami secara gradual apalagi dikotomi vis an sich  melainkan penyusupan total dalam semua sendi relung kehidupan. Syirik besar merupakan syirik yang jelas dan terbuka jika seorang makhluk merasa menjadi hamba (abdi Tuhan) namun disaat yang sama juga menjadi hamba dari selain Tuhan, sejatinya dengan kondisi demikian sama saja dengan menolak Tuhan karena syirik menolak keesaan Tuhan yang berarti menafikan kekuasaanNya.
Dimasa kini tidak sulit untuk menemukan pelaku syirik besar tetapi tidak demikian dengan syirik kecil, sang pelaku seolah-olah beriman dan mengakui keesaan Tuhan namun tanpa disadarinya ia telah melakukan syirik, ia memang tidak memberikan loyalitasnya kepada selain Tuhan, walau demikian tanpa disadarinya terselip ke”tuhan”an pada hal-hal yang lain yang justru membuatnya semakin jauh dari Tuhan.
Kecintaan pada dunia dan hawa nafsu insaniyah menjadi faktor yang melalaikan manusia dari penyatuan. Tuhan menghendaki penyatuan karena keesaan adalah diriNya disisi lain manusia berjuang demi memurnikan ketaatannya hanya kepada Tuhan. Seringkali manusia diperdayakan oleh panjangnya angan-angan, hawa nafsu (indrawi) yang terus mengejar, akal pikiran dan hati nurani yang dideterminasi alam bawah sadar yang berorientasi inderawi maupun kesan-kesan semu, misal kebanggaan diri, pemuja harta, kedudukan, kebergantungan pada selain Tuhan.
Meski dengan akalnya manusia menyadari bahwa ia akan menuju kepada kefanaan[1], hati nurani yang selalu menuntun manusia mencapai nilai–nilai spiritual, misal kesenangan dalam berbuat baik, pengorbanan, cinta kasih sesama, dlsb, manusia dalam ketidakberdayaan menghadapi pusaran material duniawi baik yang terang maupun berselubung ukhrawi yang semuanya menempatkan kebahagiaan sebagai pemenuhan ego manusia bagaimanapun caranya. Orientasi seorang manusia hendaklah menjalankan fungsi kemakhlukannya dengan berperan sebagai hamba Tuhan jika tidak maka kemanusiaannya tidak bergerak dari sekedar makhluk biasa. (Yusuf Zainal)
 


[1] Dimaksudkan kefanaan material bukan kefanaan esensi manusia