Tuesday, February 15, 2011

Hukum Adat, Pluralisme dan HAM

Dilematisme Hukum adat.Di satu sisi hukum adat merupakan warisan budaya bangsa yang sudah seharusnya dapat mempertebal rasa harga diri,kebanggaan pada tiap-tiap orang Indonesia,namun disisi lain hukum adat juga berpotensi menimbulkan feodalisme dan kesukuan pada kelompok masyarakat yang mengikutinya.

Sebagaimana dikatakan Prof.Bushar Muhammad “Ilmu hukum adat,sebagai salah satu yang termasuk kelompok ilmu-ilmu yang sangat diperlukan untuk pembangunan masyarakat Indonesia dalam usaha mengisi kemerdekaan dan meningkatkan kemakmuran rakyat, agar ditujukan kepada pengembangan unsur-unsur kepribadian (masyarakat Indonesia) dalam adat-istiadat dan hukum adat masyarakat Indonesia, sehingga unsur-unsur tersebut, sesudah dianalisa dan dinilai-apakah unsur-unsur itu tidak bertentangan dengan konsepsi mendirikan suatu masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila,sedangkan unsur-unsur yang mempertahankan feodalisme harus dibuang.kemudian diintegrasikan dalam pembangunan tata tertib hukum Indonesia yang nasional.Oleh karena itu kegunaan mempelajari ilmu hukum adat harus bersifat praktis dan nasional”.Tulisan di bawah ini hendak mengkompromikan kedua pendapat di atas,disamping tambahan mengenai pluralisme hukum-sebuah fenomena yang merupakan keniscayaan- dan Hak asasi manusia (HAM) yang merupakan konsep universal yang harus terkandung dalam hukum.

Hukum Adat

Sebelum mendefinisikan “Hukum Adat” perlu diketahui bahwa sukarnya memberi definisi.Oleh karena itu, suatu definisi hanya dapat dipakai untuk suatu pegangan sementara saja.Namun beberapa pandangan tentang pengertian hukum adat sangat perlu, sebab istilah “hukum adat” seringkali menimbulkan kesalahpahaman.

Ter Haar, ahli hukum adat asal Belanda mengemukakan, “hukum adat ialah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa, dan yang dalam pelaksanaannya diterapkan begitu saja,” artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan, yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama-sekali.Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa hukum adat yang berlaku itu, hanyalah diketahui dan dikenal dari keputusan-keputusan fungsionaris hukum dalam masyarakat itu.

Sedangkan menurut Soekanto, hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Hukum adat, kata antropolog hukum dari Universitas Indonesia, Dr Sulistyowati Irianto, termasuk ke dalam “hukum rakyat” (folk law), yakni hukum yang tak berasal dari negara.

Masyarakat adat sesungguhnya merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, hanya saja ironisnya banyak orang memandang hukum adat itu kuno sebagaimana dikatakan oleh antropolog Prof.Dr.Kebet Van Benda dari Max Planck Institute for Social Anthropology, Halle, Jerman- yang selama puluhan tahun melakukan penelitian di Indonesia, khususnya hukum adat di Sumatera Barat.

Di dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasi, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat secara gamblang dari pengkategorian dan pende-finisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai " masyarakat primitif ", "peladang ber-pindah", "masyarakat rentan", "perambah hutan", " masyarakat terasing ", dan sebagainya. Pengkategorian dan pendefinisian semacam itu membawa implikasi pada percepatan penghancuran pola dan sistem masyarakat adat.

Padahal dalam Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa warga tak banyak bersentuhan dengan hukum negara. Justru hukum adat yang berkembang, dinamis, serta paling dekat dan paling efektif berlaku bagi rakyat. Banyak kasus-kasus di daerah yang dapat diselesaikan dengan hukum adat melalui keputusan-keputusan hakim negara yang mengadopsi hukum adat.

Apakah Masyarakat adat Itu ?

Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang ber-kembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk mengembangkan, memelihara serta mewariskan identitas leluhur dan tradisi etnis mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka."

Menurut Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dirumuskan di Tana Toraja tahun 1993: Masyarakat adat ialah "Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri."

Sayangnya selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan,pengancam nasionalisme dan penyebab disintegrasi bangsa. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini "nilai-nilai barat", agar pembangunan dapat mencapai tujuan utamanya: kesejahteraan masyarakat.

Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menjadi penyebab "pemisahkan tokoh" di kalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat.

Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Dikarenakan proses marjinalisasi adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus mar-inalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.

Pentingnya Hukum Adat

Kita semua tahu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak indi-vidu (ini tidak sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.

Sebaliknya penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, dengan kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan atau bersifat komunal dan religio-magis.

Kondisi di atas mempunyai kontribusi terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal seharusnya hukum yang baik itu menuut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu yuridis, sosiologis, dan bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar dan bersumber pada budaya bangsa sendiri.

Keanekaragaman hukum yang ber-laku di Indonesia termasuk Kalimantan Barat merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelak-sanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang bersifat umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan pengurusannya atau penye-lesaiannya berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing suku yang terdapat di Indonesia. Kepada setiap suku harus diberi kewenangan untuk menjabarkan lebih lanjut apa yang diatur dalam ketentuan umum yang bersifat nasional tersebut.

Pluralisme Hukum

Pluralitas merupakan ciri bangsa Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup di masyarakat Indonesia.

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.

Dalam pengertian ini, pluralisme hukum sangat berkaitan dengan kemajemukan masyarakat secara suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas, jenis kelamin, dan lain-lain. Jadi, ada garis batas yang jelas antara hukum negara dan hukum rakyat, juga di antara hukum rakyat itu sendiri.

Dalam perkembangannya, pengertian pluralisme hukum didefinisikan sebagai inter-relasi, interaksi, saling pengaruh, dan saling adopsi di antara berbagai sistem hukum negara dan hukum rakyat. koeksistensi antara hukum negara di satu sisi dengan folk law di sisi lain.

The Commission on Folk Law and Legal Pluralism ,Prof. Anne Griffith ditemui di sela-sela Kongres Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum” yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29/6) , menjelaskan bahwa saat ini kita hidup tidak dengan satu hukum tetapi dengan berbagai hukum sehingga pemahaman mengenai pluralisme hukum perlu diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.

Pengertian pluralisme hukum sendiri menurut Sulistyowati Irianto-pengajar antropologi hukum di Universitas Indonesia (UI)- senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya.

Bahkan dengan dengan adanya globalisasi, Keberadaan hukum internasional dan transnasional telah menambah rumitnya koeksistensi keberagaman hukum yang telah ada di suatu negara, dan menambah kompleksitas pembentukan hukum dari tingkat nasional sampai di komunitas kecil di tingkat lokal. Masuknya hukum internasional ke wilayah tanpa batas itu paling tampak dalam bidang hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan.

Karena itu, dominasi hukum negara melalui berbagai produk hukum dan tafsir hukum yang monolitik telah menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat semakin terpinggirkan.

Pluralisme Hukum Adat

Dalam kaitannya dengan hukum adat, menurut Harkristuti Harkrisnowo-Akademisi Universitas Indonesia (UI)- “perlu kajian mendalam untuk mengangkat pluralisme hukum adat”. Usulan untuk mengedepankan hukum adat adalah hal yang positif. Hanya saja, untuk menerapkannya harus mengacu pada daerah-daerah yang masih berpegangan erat pada hukum adat.

Hambatan bagi pluralisme hukum adapt ialah pembaharuan hukum yang dalam realitanya selalu memilih unifikasi dalam hukum tertulis. Sedangkan, untuk hukum adat yang pada prinsipnya bukanlah suatu hukum tertulis tidak punya tempat. Upaya unifikasi justru bukan memberi tempat untuk mengakomodir adanya keberagaman hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Diantara kebijakan-kebijakan Negara yang dianggap mereduksi hukum adat. Sebut saja dengan lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pengakuan untuk hak-hak masyarakat adat malah tergantung dari penetapan pemerintah.UU mengenai privatisasi air, pengelolaan hutan dan pertambangan serta mengenai sumber daya alam. Juga Peraturan Presiden No 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan dan kepentingan umum

Oleh karena itu ruang-ruang negosiasi harus terus diciptakan agar terjadi kesetaraan hukum yang sesungguhnya di antara warga negara. Karena kita tidak bisa menciptakan sistem hukum nasional kalau kita tidak memahami situasi hukum yang beragam di dalam masyarakat.Terlepas dari kritikan berbagai pihak, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria selama ini telah mengakui keberadaan hukum adat. Mungkin masih jauh, tetapi setidaknya selalu ada harapan

Nilai Universal HAM

Hak seharusnya kata yang tidak asing bagi umat manusia, di benua manapun. Karena "hak" merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya. "Hak" telah terpatri sejak manusia lahir. "Hak" memang untuk siapa saja. Di antaranya hak yang bernama kemerdekaan, yang bernama hak makhluk dan harkat martabat kemanusiaan, hak yang bernama cinta kasih sesama, hak yang bernama indahnya kesejahteraan, baik yang bernama keterbukaan, dan kelapangan, hak yang bernama bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk menolak, hak untuk me-minta, hak untuk berbicara, hak untuk diam, hak untuk berani, hak untuk menghindar, hak untuk berkumpul, hak untuk dilindungi, hak untuk melindungi dsb.
Pada perkembangannya, "hak" me-ngalami perubahan, distorsi makna dan fungsi, hal ini disebabkan berbagai kepentingan kekuasaan manusia yang menyangkut interaksi antarmanusia sendiri, dan manusia dengan makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya di sepanjang sejarah peradaban manusia yang ter-aktualisasi dalam sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Lalu dari mana datangnya "hak"? Pertanyaan tersebut haruslah dikem-balikan kepada sang Pencipta manusia dan alam semesta ini. Karena hanya Dia yang berhak untuk mencabut segala hak yang telah diberikan kepada manu-sia dan alam semesta yang telah Dia ciptakan, kecuali jika manusia mencuri hak untuk menentukannya.

Dalam sejarah modern, HAM ber-kembang pesat menjadi pembicaraan internasional sejak PD II di pertengahan abad ke-20. Sejak itu HAM menjadi bahan pembicaraan yang luar biasa, baik dalam konsep maupun dalam jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya. Dari istilah Fundamental Human Right (yang secara harfiah berarti Hak Asasi Manusia), sekarang kita lebih mengenal istilah human rights. Apa yang dulu dikenal sebagai the right of man di abad ke-18, dalam perkembangnnya telah bergeser men-jadi human rights. Di akhir abad ke-20 ini hampir seluruh dunia, masalah hak asasi manusia diangkat sebagi hal penting dalam negara demokrasi. Hak asasi manusia dianggap sebagai konsep etika modern dengan gagasan intinya adalah: adanya tuntutan moral yang menyangkut moral itu secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. Jadi HAM bukan hanya suatu konsep, karena pada dasarnya HAM mengarah pada peng-hormatan terhadap kemanusiaan.
Definisi hak asasi manusia yang dimuat dalam piagam HAM yang meupakan bagian yang tak terpisahkan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang HAM adalah:

"Hak Asasi manusia adalah hak-hak dasar yang universal dan melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun".

HAM dapat digolongkan atas:

1. Hak individu yang merupakan hak-hak yang dimiliki masing-masing orang.

2. Hak kolektif, yakni masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi kebebasan yang dilanggar.

3. Hak sipil dan politik (dimuat dalam international covenant on civil and political rights dan terdiri dari 27 pasal), antara lain memuat hak-hak yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia seperti: a). Hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi yang kebebasannya dilanggar. b). Hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keaman-an pribadi, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. c). Hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan hak politik, hak seseorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebe-basaam berekspresi.

4. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dimuat dalam international covenant on economic, social, and cultural rights dan terdiri dari 13 pasal) antara lain memuat hak untuk menikmati kebebas-an dari rasa ketakutan dan kemiskinan, larangan atas diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati ekonomi, sosial, dan budaya; hak untuk mendapatkan peker-jaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perem-puan; hak untuk membentuk serikat tani/buruh, hak untuk mogok, hak atas pendidikan, hak untuk bebas dari kelaparan.

HAM bersifat universal, yang berarti bahwa seseorang berhak atas hak-hak tersebut karena ia adalah manusia. Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, dan merupakan sarana etis dan hukum untuk melin-dungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan yang menin-das hak itu dalam masyarakat modern. Deklarasi Wina (1993) menyebutkan adalah kewajiban negara untuk menegakkan HAM dan menganjurkan pemerintah-pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pember-lakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.

Dalam konteks negara modern, HAM telah menjadi alat anggota masyarakat untuk menghadapi kekuasaan dominan dan cenderung menindas (seperti aparatus atau alat-alat negara baik birokrasi sipil maupun militer). Soal HAM memang berkaitan erat dengan soal demokrasi. Justru, di negara-negara demokrasi inilah HAM itu mendapat perlindungan yang paling kuat. Dengan adanya parlemen yang efektif, kehakiman independen, partai-partai politik yang mapan, lembaga pers yang bebas dan sebagainya, maka sama sekali tidak mudah bagi pemerintah untuk melanggar hak-hak asasi rakyatnya.

Keterkaitan Hukum Adat dengan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Dalam era reformasi kita temukan beberapa ketentuan MPR yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap hukum adat antara lain :

1. TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman. Dengan adanya penegasan ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati. Pemaknaan terhadap ketentuan ini lebih jauh perlu dikaitkan dengan pasal 18 B (2) dan pasal 28 1 (3) UUD 1945 setelah di amandemen.

Ø Pasal 18 B (2) UUD 45: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI.
Ø Pasal 28 1 (3) UUD 45: Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 6 secara tegas menyatakan: a). Dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. b). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkem-bangan zaman.

Penjelasan Pasal 6 ayat 1 menya-takan bahwa Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

No comments:

Post a Comment