Thursday, April 4, 2013

Etika Rasa Aman

Sebenarnya penggunaan term ‘’Etika rasa aman” hanyalah berasal dari penulis pribadi dalam memahami filsafat Emmanuel Levinas yang agak sulit dicerna, karena tulisan ini merupakan interpretasi penulis, bukannya hanya sekedar penulisan ringkas, penerjemahan atau semacamnya maka penulis melakukan pengembangan penyesuaian dengan dan untuk pemahaman penulis, beberapa konsep filsafat diperlunak dengan bahasa-bahasa tangkapan penulis. Dalam kajian etika yang membedakan atau menonjolkan nilai tertentu dari pemikiran seorang filsuf kalau bisa dikatakan pembedaan khas dari Levinas dengan yang lain, juga sekaligus konsep “rasa aman” masih belum umum digunakan filsuf lain menurut hemat penulis. Maka karena pembahasan ini tidak membahas seluruh pemikiran filsuf bersangkutan, namun hanya menggali sebuah teori etika maka penulis menjatuhkan pilihan pada “Etika Rasa Aman”.
Emmanuel Levinas (1912-1995), filsuf Lithuania postmodern paling berpengaruh ini banyak dipengaruhi oleh reaksi atas holocaust perang dunia kedua yang menimpa diri dan keluarganya sebagai seorang Yahudi. Levinas dipengaruhi Edmund Husserl (fenomenologi dan koneksi intersubyektifitas) dan Heidegger (konsep ‘being’ dan ‘time’). Pada 1961 Levinas menerbitkan bukunya yang pertama ‘Totalite et infini ’ (totalitas dan yang tak terhingga) dan pada tahun 1974 terbit karya kedua ‘Autrement qu’etre ou au-dela de l essence’ (lain daripada yang ada atau diseberang esensi).
Etika rasa aman berangkat dari deskripsi “wajah”. Filsafat “wajah”, sebagai embrio tanggungjawab. Signifikasi pada otentisitas ke’wajah’an, pertama-tama, Wajah sebagai wujud konkret, yang telanjang, polos muncul didepan kita, sesuatu yang ‘transenden’ menyatakan diri. Inilah fenomena dasar etis !! Kedua, Wajah sesama seolah mengatakan “terimalah aku jangan membunuh aku” !!
Konsekuensi etis “wajah”, yakni mewakili ‘yang lain’ sebagai betul-betul lain dari aku. Yang lain atau orang berada sama sekali di luar kita, ketika wajah itu menatap kita maka ia tidak lagi bisa bersikap apatis melainkan kita tersubstitusi bagi orang itu. Ketika berhadapan itu maka sekaligus aku menjadi aku. Aku menemukan identitas ke’aku’an.
Konsep “yang lain” dan perkembangannya “perjumpaan dengan yang lain”, yang pertama mengantarkan pada keberadaan realitas, “Yang lain” adalah pribadi sesama manusia, pribadi yang lain tidak boleh diperlakukan sebagai “benda”. Aku (diri) membutuhkan yang lain, bukan sebagai yang lain, bukan yang lain sebagai alter ego/aku yang lain. Pengalaman dasar perjumpaan pada “wajah perjumpaan dengan yang lain”, kita sadar bahwa kita langsung bertanggungjawab total atas keselamatannya, itu adalah titik tolak segala kesadaran, adanya tuntutan berbuat baik dan tidak jahat, sehingga implikasi “perjumpaan dengan yang lain” layaknya ‘epifani ’ koneksi antar subyek didalam diri berlangsung, sikap dan dimensi penghayatan manusia dimana sinar kesucian ilahi ada dibelakangnya
Etika rasa aman ini adalah diderivasikan dari beberapa konsep kunci : (1) Kesadaran untuk bertanggungjawab atas keselamatan yang lain bahwa termuat panggilan kepada kebaikan. (2)Tuntutan primordial untuk bersikap baik dan tidak jahat. (3) Dalam kesadaran itu merupakan panggilan kebaikan yakni pancaran dari yang baik tak berhingga. (4) Aku bertanggungjawab maka aku ada (Responddeo ergo sum), saya ada karena ada realitas diluar kesadaran saya. (5) Manusia etis adalah manusia bertanggungjawab yang membawa rasa aman terhadap sesamanya.
Visi pemikiran Levinas menarik kesimpulan bahwa tanggungjawab terhadap yang lain adalah data realitas yang paling pertama. Ketika berhadapan dengan yang lain, “wajah”, yang tidak dapat dimanipulasi itu, aku menyadari tanggungjawab, bersumber dari keunikan manusia, sebuah identitas, dimana tanggungjawab itu tidak dapat diwakili walaupun dalam kehidupan praktis seringkali kita menyingkirkan tanggungjawab itu. Kenyataan menunjukan bahwa dasar paling dalam kebijaksanaan ialah kenyamanan orang lain melihat diri kita, dari situ lahirlah sikap kita bertanggungjawab total terhadap orang lain. Konsekuensi kunci yang tidak dapat dilepaskan bahwa usaha membangun totalitas keseragaman justru merupakan pemerkosaan terhadap keunikan yang lain.(Yusuf Zainal) 

No comments:

Post a Comment