Thursday, April 4, 2013

Pemikiran Etika

Dalam etika terdapat dua pendekatan dasar, yang satu mempertanyakan ‘apa yang baik bagi manusia’ dan satunya lagi ‘apa yang wajib’. Kedua perbedaan ini direpresentasikan oleh filsafat Yunani klasik dan filsafat kantianisme Kant. Dalam pemikiran lain, seperti, Schopenhauer, etika berbeda dengan kebahagiaan, moralitas berarti mengalahkan kehendak untuk hidup, karena manusia baru mencapai tujuannya apabila ia tidak lagi mempunyai kehendak. Friedrich Nietsche mengamini pendapat itu, moralitas berbeda dengan kehidupan, karena itu ia menentang kehidupan maka harus dibuang. Pembebasan moralitas dari kaitannya dengan kebahagiaan menjadi kebahagiaan yang bebas dari moralitas. Dewasa ini bermunculan banyak pemikiran sintesa diantara eudomonisme dan deontologi.     
            Latar belakang pemikiran etika :
1. Plato
            Dapat dipahami sebagai usaha menemukan serta mengaktualisasikan kembali intuisi yang baik dan yang indah. Konsekuensi dari idealisme ialah pemenuhan yang berpuncak pada ‘memandang’ kesatuan pemenuhan kecenderungan atau kepentingan manusia yang sebenar-benarnya dimana disitulah terletak kebahagiaan. Menuju pemenuhan itu dengan pembersihan kebertubuhan maupun kebendaan.
2. Aristoteles
            Hidup yang bijaksana adalah hidup yang menghasilkan eudaimonia, manusia yang bahagia merealisasikan dirinya, manusia memandang hal-hal yang abadi, manusia mengembangkan dirinya dengan hal terbaik yang dapat dicapai. Realis manusia bertolak pada antisipasi konstitutif (memilih nilai tengah) dalam mewujudkan keseimbangan yang semua itu tiada lain kebahagiaan.
3. Epikuros
            Penentuan status quastionis (letak persoalan) dasar eudemonisme, maksimalisasi kesenangan minimalisasi penderitaan menuju ‘apathia ’. Kondisi historis dihilangkan dari refleksi atas hidup maupun ketakutan-ketakutan (mitologi, dewa-dewi, kematian).
4. Etika Stoa
            Manusia mendapatkan kebahagiaan makin ia mengidentifikasi terhadap keseluruhan karena manusia makhluk dalam waktu menuju ‘autarkia ’, kemandirian, tidak mengalami yang bertentangan dengan cita-citanya dan ‘ataraxia’, pengalaman sesuai kehendak. 
5. Etika Kristiani
            Sejatinya penyimpulan sebuah sistem moral sebagai etika Kristen memerlukan penelaahan mendalam terhadap kitab suci, interpretasi maupun tradisi yang berlangsung ditengah komunitas kristiani. Yang lebih bisa dimajukan ialah pemikiran tokoh-tokoh etika yang berangkat dari dorongan ajaran kristen (refleksi iman), interpretasi agama kristen dengan bahasa etika (penafsiran agama), maupun etika non religius yang sedikit banyak bersinggungan dengan konsep-konsep kristiani. Jika menggunakan pendekatan representasi, maka St Paul, St Agustinus, St Thomas Aquinas sangat otoritatif setidaknya bisa ditarik sebuah gagasan bersama.
            Garis besarnya, sebagaimana ciri dalam setiap agama, penegasan nilai moral hanya dapat tercapai dalam “visio beatifica”, dalam memandang Tuhan. Rasionalitas hidup bermoral disandarkan pada kebahagiaan di alam sesudah kematian. Moralitas tidak hanya tercapai pada kehidupan yang bahagia melainkan sarana kebahagiaan sesudah mati. Transendentasi kebahagiaan adalah moralitas sesuai kehendak Tuhan.
6. Etika Kant
            “Kewajiban demi kewajiban”.Titik tolak ke arah kebahagiaan dianggap bersifat instrumentalistik dan egoistik, moralitas direndahkan menjadi alat mencapai kebahagiaan. Etika ialah jawaban akhir yang melihat distingsi antara yang baik dalam arti moral ketimbang yang baik dalam arti yang menguntungkan.

No comments:

Post a Comment