Monday, December 24, 2012

*KONSEP HAK MILIK KELUARGA DAN SISTEM SOSIAL DALAM KAITANNYA DENGAN KEADILAN DAN KEMAKMURAN

1.MASALAH PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA

       Sebagai bagian dari hukum pada umumnya, hukum perdata juga bertujuan mengatur , sehingga didapati masyarakat yang damai dan adil. Hukum perdata menentukan bahwa didalam perhubungan antara orang, harus menundukan diri kepada apa saja kaidah yang harus diindahkan. Dalam hal ini hukum perdata memberikan wewenang-wewenang di satu pihak  dan di lain pihak ia membebankan kewajiban-kewajiban yang pemenuhannya-jika perlu dapat dipaksakan dengan bantuan penguasa.

            Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di luar kandungan, asal saja ia kemudian dilahirkan hidup.

            Suatu perbuatan hukum hanya dapat memperoleh akibat hukum yang dimaksud secara lengkap, bilamana ia memenuhi syarat-syarat yang diadakan oleh hukum. Jika syarat-syarat diatas tidak dipenuhi, perbuatan itu lantas dapat diganggu gugat, yaitu dalam arti, bahwa perbuatan itu lantas adalah batal secara mutlak (perbuatan itu mulai ketika itu juga dan dalam keadaan apapun, tidak memperoleh efek hukum yang dituju, sedangkan setiap orang dapat memakai kebatalan itu dalam suatu gugatan) atau ia adalah batal secara nisbi.

            Batal secara nisbi ialah : kebatalannya hanya ada bilamana dan sekedar itu diminta oleh orang-orang tertentu. Di samping dua jenis kebatalan ini ada lagi yang disebut hal yang dapat dibatalkan : perbuatannya bagaimana juga memperoleh akibat hukum yang dimaksud, tetapi atas gugatan orang-orang tertentu dan untuk kepentingan orang-orang tersebut perbuatan tersebut dapat dinyatakan batal oleh hakim.

            Kecakapan dalam berbuat itu bisa dibedakan menjadi ;

a. kecakapan berbuat yang umum, dan
b. yang khusus

            Kecakapan berbuat yang umum adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam umumnya, sedangkan kecakapan berbuat yang khusus ialah kecakapan untuk berbuat suatu perbuatan hukum jenis tertentu saja.

            Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban perdata ialah segala perbuatan hukum dalam lingkup privat (hak-hak dan kewajiban-kewajiban) yang memenuhi syarat-syarat perbuatan hukum dan dikerjakan oleh orang yang cakap.

2.PERKEMBANGAN PENGERTIAN HAK MILIK DALAM HUBUNGAN DENGAN KEADILAN DAN KEMAKMURAN

Sebagai makhluk sosial yang merdeka, setiap orang mempunyai berbagai macam hak untuk menjamin dan mempertahankan kehidupannya ditengah-tengah masyarakat. Hak ialah peranan bagi seseorang atau suatu pihak (pemegangnya) untuk bertindak atas sesuatu yang menjadi obyek dari obyeknya itu terhadap orang lain. Hak yang dipunyai seseorang itu pada dasarnya dapat kita bedakan atas dua jenis utama yang bila dipandang menurut sifatnya, yakni :

1. Hak yang bersifat asasi, yaitu hak yang harus ada pada setiap orang untuk dapat hidup sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat selaras dengan martabatnya sebagai pribadi yang terhormat.

2. Hak yang tidak bersifat asasi, yaitu hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh seseorang atau suatu pihak karena hubungannya yang khusus dengan orang atau pihak lain pada suatu tempat dan waktu tertentu serta situasi dan kondisi yang dianggap tepat.  

Perbedaan antara kedua hak diatas, ialah, hak asasi merupakan hak yang tidak dapat dikesampingkan dari seseorang dalam keadaan bagaimanapun sedangkan hak yang tidak asasi, ialah hak yang masih dapat dikesampingkan karena adanya suatu atau beberapa kepentingan yang lebih memaksa. Contoh hak yang tidak asasi misalnya, segala hak yang dapat diperoleh berdasarkan hukum tetapi masih dapat juga diganggu gugat (dalam arti dibatasi ataupun dihapus sama sekali) melalui hukum itu sendiri bila ada satu atau beberapa kepentingan yang lebih memaksa, yang antara lain adalah kepentingan umum.

Karena ‘hak’ berarti peranan tetapi yang boleh, jadi tidak harus dilaksanakan (opsional). Berdasarkan rumusan diatas, hak milik ialah peranan seseorang atau suatu pihak untuk memiliki sesuatu dan bertindak atas sesuatu yang menjadi miliknya itu. Unsur kedua dalam hak ialah unsur ‘milik’. Tentu saja yang menjadi obyek dalam hal ini merupakan kebendaan (termasuk di dalamnya hewan dan tumbuhan) yakni hak yang obyeknya benda atau yang dipersamakan dengan benda.

Sebagai salah satu dari sekian banyak hak kebendaan, hak milik seperti yang telah kita ketahui merupakan hak kebendaan yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak kebendaan lainnya. Dikatakan demikian karena pemegang hak milik dapat berbuat apa saja terhadap barang miliknya itu, misalnya baik memakai, menguasai sendiri ataupun menjual, menyewakan, meminjamkan kepada pihak lain atau mengusahakan orang lain bertindak atas namanya dan atas kehendaknya terhadap benda miliknya tersebut untuk mewakili dirinya sebagai pemegang hak milik atas benda yang bersangkutan. Bahkan sampai merusakkan atau memusnahkan benda miliknya tersebut pun secara yuridis tidak terlarang sepanjang perusakan atau pemusnahan tersebut tidak mengganggu ketertiban dan tidak merugikan orang lain.

Disamping itu pula hak milik adalah satu-satunya hak kebendaan yang langgeng. Akibatnya setiap orang dapat sampai kapanpun bahkan seumur hidup menikmati manfaat harta benda yang telah menjadi miliknya sepanjang hak milik atas benda itu tidak dialihkan kepada orang lain. Bahkan bila orang tersebut telah meninggal dunia sekalipun, hak milik atas segala harta benda yang ditinggalkannya dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya. Karena itulah maka hak milik merupakan pula satu-satunya hak yang dapat diperoleh dengan satu langkah pengorbanan saja, yakni usaha untuk mendapatkan benda-benda yang hendak dimiliki tersebut pada awal suatu pemilikan pada umumnya.

Menurut ajaran sejarah tentang hak milik, pada awal mulanya hukum tidak mengenal adanya hak milik pribadi atau perorangan atas benda apapun juga. Segala benda yang ada pada waktu itu semuanya dianggap sebagai hak milik bersama para anggota masyarakat secara merata. Karena itu setiap benda dikatakan juga ’res nulius’ yang berarti benda tanpa ada yang berhak untuk dimilki siapapun secara pribadi.

Dari pemilikan bersama inilah lambat laun lahir dan berkembang hak milik pribadi dan perkembangannya itu berlangsung melalui 3 tahap :

*Fase pertama  : Mula-mula diantara anggota masyarakat diadakan perjanjian untuk memperoleh hak milik atas benda-benda yang diinginkan masing-masing dengan ketentuan bahwa seorang anggota masyarakat hanya boleh memiliki benda-benda yang diinginkannya bila benda-benda tersebut belum menjadi hak milik anggota yang lain (benda-benda yang belum bertuan). Pemilikan benda pada masa ini masih semata-mata bersifat jasmaniah tanpa didasari hak yuridis apapun. Karena itu pemilikan ini lebih dikenal sebagai pemilikan ‘alamiah’ atau ‘possesio naturalis akibatnya keadaaan kedudukan hak milik pada masa itu masih sangat lemah karena dasar mempunyai satu benda belum dapat dibuktikan atau dipertahankan secara yuridis karena bila seandainya terjadi pencurian, pemilik barang yang dicuri itu tidak dapat berbuat apa-apa meski ia tahu siapa pencurinya dan dimana barang itu berada berhubung hak miliknya atas barang tersebut sama sekali tidak dilindungi oleh hukum pada masa itu.

*Fase kedua : Pada tahap ini, hak milik pribadi atau perorangan telah lebih disempurnakan dalam hukum dimana selain hanya melalui penguasaan secara jasmaniah, hak milik seseorang atas suatu benda itu telah dapat pula dibuktikan/dipertahankan secara yuridis. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa disamping penguasaan jasmaniah, hak milik pribadi tersebut telah pula meliputi penguasaan yuridis sehingga selain perlindungan jasmaniah dari pemiliknya sendiri (misalkan melalui penyimpanan yang aman, penjagaan yang ketat dan sebagainya), hak milik seseorang atas suatu benda itu mendapatkan jaminan perlindungan pula dari hukum, sepanjang benda tersebut sendiri diperoleh pemiliknya melalui cara-cara yang tidak melawan hukum.

Akibatnya bila seandainya terjadi gangguan terhadap hak milik pribadi seseorang yang sah menurut hukum, maka hukum melalui tindakan para fungsionarisnya seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan sebagainya dapat memberantas gangguan tersebut dengan jalan mengembalikan benda yang menjadi obyek hak milik yang terganggu kepada pihak yang berhak (pemiliknya) bila hal itu masih mungkin dilakukan; dan menindak tegas para pelaku pengganggu hak milik tersebut menurut peraturan hukum yang berlaku setempat pada waktu itu.

*Fase ketiga : Pada fase ini , hak milik pribadi atau perorangan telah berkembang ke dalam tahap yang lebih matang, karena kedudukan hak milik, penggunaannya, penguasaannya bahkan sampai pada penikmatan hasilnya dijamin penuh oleh hukum/undang-undang yang berlaku. Sejak tercapainya fase ini kian hari kian banyaklah benda-benda milik pribadi diseluruh dunia menandingi benda –benda milik negara sebagai organisasi masyarakat tertinggi.

Dalam hubungannya dengan hak milik, keadilan itu pada intinya berwujd sebagai ‘catur tunggal’ karena pada kenyataannya keempat macam keadilan itu saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan pula, yang terdiri atas :

1. Keadilan senilai atau keadilan timbal balik yang biasa disebut juga keadilan dalam pertukaran (justitia connutativa).Contoh : keadilan yang melandasi :
a. jual beli
b. barter atau pertukaran barang-barang yang seharga
c. pertukaran antara barang dan jasa (sebagai prosedur perolehan milik melalui kerja berimbalan) dan sebagainya.

2. Keadilan dalam pembagian atau penyebaran (justitia distributive). Contoh pendermaan dana bantuan bagi fakir miskin baik berupa uang atau benda yang perlu dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup primer mereka yang tidak mampu memenuhinya sendiri.

3. Keadilan berdasarkan Undang-undang (justitia legalis). Contoh : keadilan dalam pembayaran pajak kekayaaan atas bendamilik pribadi yang harus dibayaroleh pemiliknya yang biasanya diselaraskan dengan harga, manfaat dan keadaan benda yang bersangkutan, baik untuk benda yang tetap maupun benda yang bergerak/lepas. Demikian pula keadilan dalam hal pembayaran upah/gaji buruh yang tidak boleh lebih rendah dari batas minimum yang ditetapkan dalam undang-undang/peraturan pelaksanaannya agar dengan penghasilan tersebut buruh yang bersangkutan paling tidak dapt memperoleh pemilikan (masih mampu membeli) benda-benda kebutuhan hidupnya setidak-tidaknya sampai pada tingkatan primer, atau mungkin juga bisa mencapai tingkatan sekunder dan tertier melalui waktu yang relative lebih lama dan bekerja yang lebih lama dengan pengertian kebijaksanaan majikannya.

4. Keadilan social (justitia sosialis), yaitu suatu nilai takaran atau ukuran bagi masyarakat untuk menentukan dan mewujudkan keadilan menurut undang-undang dalam rumah tangga negara pada setiap situasi dan kondisi berdasarkan nilai-nilai pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.  

Jadi sekarang kalau kita pandang hak milik dan keadilan dalam suatu hubungan, menurut kesadaran hukum yang sehat, yang sesuai dengan fungsi murni hukum itu sendiri yakni untuk menempatkan eksistensi dan kedudukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai realitas lahir dan batin, maka dapatlah dibuktikan bahwa hak milik dan keadilan itu pada hakikatnya adalah satu dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisah, ataupun dicerai beraikan karena pada kenyataannyalah :

1. Hak milik selalu harus didasarkan pada keadilan dengan tujuan agar jangan sampai hak milik itu berlebihan dalam arti melampaui batas kelayakan menurut pandangan hidup, sehingga menimbulkan gambaran ketidakadilan adanya penumpukan hak milik di pihak yang satu dan terkurasnya hak milik di pihak yang lain seperti yang terjadi dalam aliran Kapitalisme.

2. Demikian pula sebaliknya, keadilan pun harus selalu mengakui dan melindungi hak milik, agar jangan sampai eksistensi hak milik itu terhapus oleh adanya pandangan hukum yang tidak sehat seperti dalam aliran Komunisme.

Berdasarkan jalan pandangan diatas terbuktilah dengan jelas, bahwa dimana ada hak milik disitu akan dan harus ada keadilan dan demikian pula sebaliknya, di mana ada keadilan disitu harus ada hak milik, sebagai hak pribadi penuh yang mencerminkan kemerdekaan manusia seutuhnya, dalam arti manusia yang sungguh-sungguh memegang haknya sebagai manusia tanpa menyalahgunakannya selaras dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk termulia yang diridhoi Allah Swt.  

3.PERKEMBANGAN KONSEP KELUARGA DAN SISTEM SOSIAL SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KONSEP HUKUM

       Lajunya perkembangan hak milik pribadi di suatu negara bergantung pada faktor-faktor :
1.  Pendapatan perkapita penduduknya
2. Keadaan alamnya
3. Falsafah negara yang menjiwai kehidupan bangsa di negara itu
4. Berbagai latar belaknag yang khusus dari kehidupan bangsa yang bersangkutan.Misalkan sejarahnya, adat istiadatnya, agama dan kepercayaannya, kebudayaannya, dsb

            Karena keadaan faktor-faktor diatas berbeda antara satu negara dengan negara yang lain, maka masing-masing negara mempunyai pandangan sendiri-sendiri terhadap hak milik yang kadang bersamaan dan kadang pula berlainan dengan negara lainnya.

            Pada dasarnya yang dapat menjadi obyek hak milik seseorang secara pribadi ialah segala macam  benda yang diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (beserta kebutuhan orang lain yang ditanggungnya, misal keluarganya, buruhnya yang langsung hidup dibawah tanggungannya, dsb)

            Tuntutan kebutuhan hidup yang dirasakan oleh orang-perorangan, terbagi 2 yakni :
1. Tuntutan kebutuhan yang bersifat absolut/umum yang berunsur mutlak, kekal dan universal berlaku bagi segala zaman
2. Tuntutan kebutuhan yang bersifat sementara, relatif, spesifik serta dipengaruhi oleh pekerjaan/kedudukan seseorang, keadaan alam geografis dan pergantian zaman.

            Yang jelas segala macam benda yang dapat dimiliki orang secara pribadi ialah, semua benda :
1. baik benda benda yang merupakan kebutuhan primer, sekunder dan tersier
2. baik benda-benda yang cara perolehannya cukup satu kali maupun yang harus berulang kali
3. baik benda-benda yang termasuk benda konsumsi atau produksi
4. baik benda-benda yang sedang dibutuhkan pada masa sekarang maupun benda-benda yang akan dibutuhkan pada masa-masa yang akan datang
5. benda-benda lainnya yang meskipun sebenarnya tidak diperlukannya atau terlepas dari kebutuhan hidupnya, sepanjang kepemilikan benda-benda tersebut tidak merugikan kepentingan orang lain dan tidak mengganggu kepentingan umum. (Yusuf Zainal)



No comments:

Post a Comment