Monday, December 10, 2012

Seks Dalam Budaya Di Nusantara


Hubungan seks zaman dulu di nusantara konon dikaitkan dengan kesuburan bumi maupun kemakmuran rakyat, lebih khusus lagi kalangan keraton. Seorang raja yang menunjukan kehebatan dan potensi besar seksual maka kerajaan akan kuat dan makmur. Banyaknya anak dan keturunan sebagai perlambang kesuburan rakyatnya. Paku Buwono X yang memiliki puluhan anak dan ratusan cucu sering dinilai sebagai raja terbesar tanah Jawa.

Simbol-simbol seksualitas tersebar pada berbagai peninggalan tradisional, pemujaan pada lingga, yoni, hubungan seksual dan alat kelamin dianggap sebagai simbol pusaka. Di Candi Sukuh, alat kelamin laki-laki (Raja) dipahatkan di bagian depan pintu gerbang dan di belakangnya ada pahatan Vagina (Ratu), keduanya merupakan pusaka dan gambaran magis ketimbang pornografi.

Nuansa Hindu-Budha

Keraton Surakarta dengan tari Bedaya Ketawang dan Yogyakarta dengan tari Bedaya Semang sebagai memperingati dan mengaktualisasikan hubungan dengan Ratu samudera. Tarian yang dilakukan sembilan penari perempuan yang dalam keadaan suci (perawan), konon orang kadang melihat penari kesepuluh yang tercantik tiba-tiba ikut menari, mitos yang beredar adalah Nyi Roro kidul.

Adapun filosofi sembilan penari ini sebagai pelambang sembilan dewi yang menyertai dewa tertinggi (Syiwa) dalam sebuah konfigurasi keadaan berhubungan seks. Syiwa dikenal sebagi dewa yang menonjol bertapa dan potensi seksualnya. Kakawin Swaradahana menceritakan bahwa anak yang sakti dari dewa ini terwujud setelah Syiwa dan Dewi Parwati melakukan hubungan seks (diselingi makan dan minum) selama bertahun-tahun.

Dalam Vajrayana hubungan seks menjadi jalan kepada Mahasukha atau kebahagiaan agung yang didasari oleh pemahaman dan penghayatan akan kebenaran yang bersifat transenden. (Yusuf Zainal)

No comments:

Post a Comment